Koleksi Cerpen | Kumpulan Cerpen | Koleksi Cerpen dan Puisi | Koleksi Cerpen, Puisi dan Syair | Cerpen dan Puisi | Cerpen dan Syair | Puisi dan Syair | Cerpen Islamic | Cerpen Cinta | Cerpen Rindu | Cerpen Sedih | Cerpen Indah | Cerpen Romatis | Puisi Islamic | Puisi Cinta | Puisi Sedih | Puisi Indah | Puisi Rindu | Puisi Romantis | Syair Cinta | Syair Rindu | Syair Sedih | Syair Indah | Syair Romantis | Novel | Cerpen Diary | Puisi Diary | Diary Islam | Diary Cinta | Sedih | Rindu | Romantis | IPTEK | Referensi | Ringkasan atau Resume Islam | Nilai-nilai Agama Islam | Aqidah Islam | Iman | Sejarah Islam | Psikologi | diary4share.blogspot.com

26 Agustus 2009

Cerpen Islam | Bila Kaifa | Bukan Taqlid

26 Agustus 2009

Satu hari, satu minggu…, beberapa bulan setelah kelahiran bayi pertamanya, ada rasa tidak sepi, riang gembira, kesal-kesal gemas, geli hingga tertawa dengan muka lucu menjadi entitas panorama dalam kehidupan Marwan dan Muthiah.

Tujuh tahun waktu yang singkat. Musim panen kemarin telah berlalu begitu cepat. Sawah-sawah dan ladang mulai melambaikan tangan lalu memanggil para petani untuk menggarapnya.

Hari minggu selepas shubuh ketika pagi masih remang-remang, ketika kumpulan asap hitam di langit bagian timur diam tanpa gairah, anaknya masih tidur. Muthiah seperti biasa mulai sibuk dengan pekerjaan dapurnya dan Marwan setelah mengisi perutnya hanya dengan secangkir teh hangat, dia mulai bergegas, siap berangkat menunaikan tugas rutin yang biasa dikerjakan.

Sebagai orang yang tinggal di sudut pedesaan dengan keterbatasan ekonomi, Marwan selalu berusaha menjadi suami sejati yang sanggup menafkahi istrinya, ia pun berusaha menjadi ayah yang sanggup memberi investasi untuk anaknya kelak.

Marwan harus menjemur diri di bawah matahari. Cucuran deras keringatnya sudah biasa ketika musim panen berlalu yang dengan begitu dia bisa menghidupi istri dan anaknya. Ketika musim tanam datang, hampir setiap hari dia harus bekerja menyulam alam, meninggalkan anak istri sebagai petani yang harus mengisi lumbung-lumbung padi majikannya.

“Pergi dulu, ya!” Marwan pamitan
Sebelum Muthiah menjawab,
“Abi mau kemana?” Tanya Salman, anak mereka yang kini berusia 7 tahun. Dia terbangunkan pamitan ayahnya.
“Salman…, kamu sudah bangun?”
“Aku ikut, ya!”
“Ikut kemana, Man ?”
“Jangan, nak! Salman belum boleh ikut!” Larang Muthiah yang belum sempat menjawab Marwan.
“Kenapa…? Salman ‘kan mau ikuuut..”
“Kalau Salman sudah besar, baru boleh.” Muthiah mendekati anaknya dan membantu turun dari ranjang. Dia memberi syarat kapan anak kecil itu boleh ikut bapaknya.
“Sekarang temani ummi saja di rumah.”
“Betul, Man! Kasihan ummimu sendirian.”

Marwan pun tidak menggubris pinta anaknya. Setelah mengambil topi lusuh yang biasa dipakai lalu dengan segera pergi ke luar. Dengan sigapnya laki-laki itu melangkah, dia pun tidak lupa menyambar ujung tongkat cangkul lalu ditentengnya.
“Assalamu’alaikum...”
“’Alaikum salam ….”
“Hati-hati di jalan!”
“Maaan… titip ummimu! Jangan sampai diambil orang, ya!” Dengan melirik istrinya, Marwan sempat-sempatnya menggoda Muthiah.

Salman hanya bisa berdiri, menatap rangkaian langkah sang ayah yang terus menjauhi daun pintu. Seketika Marwan membalikan muka, tersenyum, dan melambaikan tangan. Sanubarinya terpanggil tatapan anak-istri yang masih berdiri.
“Kalian jangan risau…. Man, temani saja ummimu di rumah! Kamu juga jangan nakal, jadilah anak yang baik, yaaa!”

“Lekas pulaaaaanggg juga……, yaaaa!!!”

Anak kecil itu berteriak juga. Dia pikir gemanya bisa menemani langkah sang ayah. Mendengar itu Muthiah hanya tersenyum. Seperti hari-hari yang lain, Salman mulai merasakan kehilangan Marwan selama siangnya. Tapi Marwan terus melangkah menyemaikan kabut pagi lalu menghilang dibalik belokan jalan.

“Masuk, yuk!” Ajak Muthiah
“Belum shalat shubuh, ‘kan?”
“Ooooo ya Salman lupa!” Akunya anak itu, polos.
“Habisnya Abi, sih!”
“Eiiits, jangan begitu! Kalau lupa jangan buat orang lain biang keladinya,” Muthiah menggerak-gerakkan telunjuknya.
“Ingat, jangan nodai tulusnya pengakuanmu itu!”

Dengan segera anak kecil itu wudhu, shalat… khusu’ seukuran Salman disekitar apa, kenapa, dan bagaimana yang baru terwujud dalam berdiri, ruku’, sujud…yang belum terpahami. Setelah selesai lalu Salman bersimpuh dengan tangan menengadah,
“Allahummagpirli… waliwalidaya… warhamhuma… kama rabayani… sagira…. Amin”
Tajwid dan tahsinnya tidak karuan. Walau begitu dia berusaha menghadirkan wajah kedua orang tuanya.

“Miii… Ummi… sudah, Ummi!” Anak kecil itu berlari menuju Muthiah yang masih di dapur.
Mendengar laporan anaknya, Muthiah terseyum riang lalu mendekapnya penuh kasih, mengelus rambutnya, dan dia pun mencium penuh harap.
“Seandainya kau besar, jadilah seorang yang shaleh, nak!” Bersit Muthiah. Lintasan benaknya hanya mengalir dicelah-celah sinar mata yang teduh, menyentuh setiap relung rahasia anaknya.

Dalam dekapan seperti itu Salman selalu merasakan hangatnya kasih sayang yang tulus. Elusan jemari ibunya selalu menggetarkan dalamnya nurani dan dari tatapan wanita itu, dia merasakan kesejukkan cahaya bola mata. Dengan tidak sadar, anak itu pun memeluk tubuh ibunya begitu erat, kepalanya menyusup, tangannya tidak mau lepas.

Sayang! Sungguh sayang! Kehangatan itu harus terhenti karena Muthiah masih sibuk dengan pekerjaan dapurnya.
“Kamu duduk saja di sana, ya! Jangan ganggu…! Bukannya Salman juga sudah lapar?”

Muthiah memindahkan nasi yang sudah masak ke dalam bakul, lalu mengambil pisau yang terselip dicelah-celah bilik dan secepatnya menghampiri meja kayu tua, dengan terlatihnya dia pun memotong-motong sayuran. Lalu Muthiah meletakkan wajan di atas tungku dan meniup bara api kayu bakar yang tinggal beberapa senti. Di atas kanan tungku itu menggantung beberapa jagung kering yang kapan saja bisa dogoreng jika anaknya ingin makan tambahan.

“Mi…! Kenapa Abi harus pergi?”
“Abimu itu harus kerja”
“Kenapa tidak mau bawa Salman?”
Belum juga di jawab,
“Mi, Ummi, kenapa ya?” Disela-sela kesibukkan Muthiah memasak, anak itu meluncurkan tanda tanya, ocehan seperti anak kecil yang lain

“Kenapa... apanya lagi, Man?”
“Eu, eu… Eeuhhhh kenapa Salman harus shalat?
“Tidak hanya Salman, tapi semua orang juga harus.”
“Ya… tapi kenapa?” Susul Salman, tidak menghiraukan Ibunya yang sibuk.
“Karena Salman muslim, walaupun turunan”
“Terus…..”
“Karena Allah akan sayang kalau Salman shalat.” Jawab Muthiah, sederhana.
“Kenapa Dia sayang kalau Salman shalat? Apa Ummi tidak sayang Salman?”
“Sangat sayang! Siapa bilang tidak sayang anakku yang pintar ini.”
“Lalu siapa Allah itu…?” Sekarang Muthiah diam.
“Dimana Dia… dan apanya aku, Dia itu? Orang mana Dia, Ummi?” Salman terus bicara dengan menatap Muthiah yang masih diam.
“Kalau sayang, kenapa tidak pernah… memberi uang. Kenapa membiarkan Abi harus kerja, terus meninggalkan kita seharian?” Dengan logat anak kecilnya yang terbata-bata, Salman terus menyerang dan tidak mau tahu kesibukan ibunya.
“Jawab… Miiii…!!!”
Muthiah semakin diam.
“Apa Ummi juga tidak kenal Dia… atau Dia itu orang asing?” Anak kecil itu semakin tidak sabar.

Mendengar serangan anaknya yang bertubi-tubi, Muthiah pun semakin diam sejuta kata. Matanya yang teduh sedikit menghindari tatapan Salman yang haus jawaban.
“Betul anakku!” Pengakuan tulus hanya terlintas dihati Muthiah.

Setelah diam cukup lama, untuk menjawab pertanyaan anaknya itu akhirnya Muthiah bicara, seakan bergumam,
“…Kul Huwallahu Ahad, Allahush-shamad, Lam Yalid Walam Yulad Walam Yakun Lahu Kufuwan Ahad”

“HuuuhhhFFffs…” Tarikan nafas panjang begitu saja terhembus dari Muthiah

“Man, dengan berusaha dan bekerja kita akan mendapat uang. Itu dari Allah, Tuhan kita. Makanya kita bisa makan sampai sekarang, teruuus… Dia juga yang mengatur siang dan malam. Dia itu, yang menggantungkan bulan, matahari, juga bintang-bintang. Dia juga yang mengatur dan menjaganya, tanpa tidur sedetikpun”

Muthiah berhenti lagi bicaranya, karena Salman yang tadi semangat bertanya malah asyik dengan mobil-mobilannya yang sudah rusak. Cuek, bye bye. Muthiah menghampiri Salman, tangannya mengelus kepala anak kecil itu, setengah meremas-remas, gemas.

“Kalau sudah besar, kamu harus lebih faham dari Ummimu yang dha’if ini…”

Tanpa sadar, Muthiah berusaha menanamkan teknik asimilasi, yang dengan itu, dia mengharapkan anaknya merasakan adanya getaran halus yang menyentuh, meronta-ronta, dan mengalir menghiasi cognitive-structurenya.

Nasi 1 liter, sayur asem, tahu dan tempe sudah masak.

Tetes-tetes embun pagi mulai mengalah, bumi terus merangkak pada porosnya hingga api pusat itu tersenyum terapit gunung. Walau tanpa diundang, dia datang menidurkan malam. Sinar fajar itu menyelinap diantara ranting bambu yang kering lalu menerobos lubang-lubang bilik, menerangi sudut-sudut gelap rumah Muthiah.

“Salman tidak pergi main…?”
“Tidak, ah. Katanya harus jaga Ummi. Kalau Ummi diambil orang, Salman jadi anak siapa? Aku tidak mau, jadi anak tiriiiii…!!!”
“Salman… Salman, masih ingat pesan itu…?”
“Siapa dulu ibunya…”

Mendengar anaknya yang menggoda dengan cepat Muthiah mendekap anak kecil itu, menggendongnya, di ayun-ayunkan, meremas-remas rambutnya lalu menggelitik pinggangnya. Merasakan itu, Salman kegelian sampai tertawa sejadi-jadinya,
“Biiii…!!!! Tolong Salman… Ummi genit, niiiii….!”

Dibalik bilik dapur yang sudah hitam karena asap tungku, mereka begitu rukunnya dengan segala keceriaan, melupakan segala kesedihan yang diantarkan siang malam dan melupakan segala kekurangan kehidupan ekonominya. Semua itu dilakukan Muthiah karena khawatir kalau anaknya terjerumus ke dalam jurang agnostisisme komparatif.

Semua itu dilakukan juga untuk mencegah anaknya bertanya, “Kenapa dan bagaimana…?” Sebagai jumhur Bila Kaifa!!! Bukan Taqlid!!!

17 komentar:

×÷·´¯`·.·•[ peace ]•·.·´¯`·÷× mengatakan...

Artikel yang bagus mendidik dan sangat fammiliar banget,banyak pelajaran yg isa kita ambil dari cerita diatas.Subhhannalloh sesungguhnya rumah yang bisa di katakan surga ngga harus bergelimang harta tapi karena saling sayang di antara mereka.salam indonesia damai.

lina@happy family mengatakan...

Cerita bagus Kang, di dalam kesederhanaan ada rasa syukur, kehangatan, keharmonisan...

NURA mengatakan...

salam sobat
cerpen islam bagus sobat,,cocok sekali di bulan ramadhan ini.
dan mengingatkan kita semua untuk selalu bersyukur kepada ILLAHI.

eNeS mengatakan...

Wah...wah...wah... Aya deui cerpen islami. Tapi buah naon eta teh nu ngaranna agnostisisme komparatif, he2010x

annie mengatakan...

cerpen tentang kesederhanaan hidup dan kemewahan cinta. Siip lah, kang!

mas doyok mengatakan...

kesederhanaan rasa syukur yg pasti amanat nya sip banget kang

genial mengatakan...

Cinta akan membentuk sebuah keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah karena kesamaan iman dan aqidah, dalam naungan ridho Allah Subhanahu wa Ta'ala. Jangan biarkan sedikitpun celah hatimu terbuka dengan cinta berselubung ketamakan, karena cinta seperti itu akan meranggas aqidah.

nb : ya iia lahhh portable kang.... masa saiia naro kata2 yg mengindikasikan kebohongan...?!??! huehehehehe...

Sharing Tips mengatakan...

wahh ceritanya menarik banget kak.. makasih ya dah sharing

Love -- Cyntia

Gudang Hikmah mengatakan...

bagus banget ni ceritanya,sangat menjiwai sekali kelihatannya penulisnya ni

NURA mengatakan...

salam sobat
kunjung disini lagi
cerpen islam ini,,tidak membosankan kalau dibaca .
karena banyak ajaran yang bisa dipetik disini.

Iklan Baris mengatakan...

ceritanya mengharukan ^_^ bagus banget, seorang anak yang cerdas dan ummi yang sabar dalam menjawab pertanyaan si anak. emmm....keluarga yang harmonis dalam gubuk sederhana tapi penuh canda tawa. bagus ^_^

Iklan Gratis

Thariq mengatakan...

wow..sindiran yg dalem bgt nih ceritanya....hiks..mampu gk ya membuat rumah yg tetep hangat begitu...

JT mengatakan...

@All: terimakasih semuanya. mudah2an semua support menjadi feedback spy lbh baik n introspeksi

Mohon maaf sbtulnya lg belajar nulis ni, mungkin transisi minat n profesi jg :DDD
tdk ada mksud mengajari apalagi menceramahi, jd kalo ada diksi yg nadanya tidak pas, skali lg dgn sdih hati mhn maaf
ternyata memang susah menghasilkan yg renyah n kriyuk-kriyuk sperti ayam crispy. mudah2an dlm proses blajar ni bisa menemukan bagaimana menyajikan bolu empuk untuk bisa dimakan smua orang.
mudah2an jg tdk menimbulkan sgla bntuk chaos akibat kontradiksi

skali lg TERIMAKASIH
NICE SMILING4ALL

rachmat mengatakan...

aq baca artikel ini dari awal ampe abis,kangen juga ya terhadap kepolosan masa kecil tanpa berpikir macam2 tanpa saling curiga, mudah2an suatu saat anak itu mengerti bhw Alloh SWT itu ada , tidak terlihat didunia karena kita belum diberikan kemampuan oleh Alloh untuk melihatNya, al-A’raaf: 143

4bang mengatakan...

mau dibaca nich...

AD1N mengatakan...

wah oke banget cerpennya sob :)

Anonim mengatakan...

sederhana tp subhanallah ada ilmu yg bs di dapat

Posting Komentar

Terimakasih Atas Kunjungannya...!!! Nice Smiling4U. Thanks!!!